Untukku ... dan
semua yang mengalami rasa sakit ini.
Aku yang berusia
cukup ‘banyak’ ini, masih belum mampu mengartikan apa itu cinta, juga
perbedaannya dengan sayang dan suka. Aku mengartikan itu sama saja. Bahkan aku
hampir tidak bisa men’deteksi’nya.
Maka itu, saat
aku mengalaminya—yang entah itu apa, aku masih awam, masih merasa tabu, masih
malu. Baik untuk mengekspresikan maupun mengungkapkannya.
Beberapa kali,
tertutama saat malam tiba, pikiranku tertuju padanya. Pada senyumnya,
kata-katanya yang manis, kasih sayangnya. Aku berusaha mengartikan perasaan
ini, tapi aku tidak mampu. Aku takut aku salah mengungkapkan, takut ungkapanku
tertuju pada orang yang salah; pada orang yang tidak berhak untuk kurindukan—ya,
pada akhirnya aku berani, dengan angkuhnya, mengartikan perasaan itu rindu.
Pada diriku sendiri.
Setiap waktu,
hatiku tergerak padanya. Perasaan ingin selalu bersamanya; mendengar suaranya;
menyentuhnya; semakin menggebu. Tapi sekali lagi, aku tidak mampu mengungkapnya.
.
.
.
Suatu waktu, dia
berkata manis padaku. Berkata bahwa dia merindukanku, aku adalah segalanya, dan
banyak kata-kata manis lainnya.
Sebagai gadis
normal, aku merasa senang. Merasa aku tiada duanya, merasa aku gadis paling
bahagia di dunia, paling cantik di dunia. Bibirku tersenyum, pipiku memerah,
kupu-kupu di perutku beterbangan.
Tapi kemudian
perasaan lain menyerang, sekali lagi, perasaan takut. Takut itu hanya dusta,
takut kalimat itu hanya sementara, hanya pemanis ‘buatan’, takut aku termakan
oleh kata-kata indah itu—yang nyatanya sangat, sangat, sangat membuatku
bahagia.
Beberapa waktu, setelah
aku menyuruhnya berhenti, dia benar-benar menghentikannya. Dan tanpa kuduga,
aku kecewa. Kecewa pada diriku sendiri, juga mengecewakannya. Saat itulah, aku
meminta pada Tuhan sesuatu yang kutahu, tidak mungkin dikabulkan. Tuhan, tolong
... kembalikan waktu, agar aku tidak mengatakan hal menyakitkan itu; menyuruhnya
berhenti mengekspresikan perasaannya padaku.
Perlahan, kata
rindu darinya lenyap, bersamaan dengan panggilan sayangnya untukku. Sikap
manisnya yang memanjakanku pun memudar. Suaranya yang dalam tak lagi mampu menenangkanku. Semuanya hambar. Hingga puncaknya ... aku merasa dia
benar-benar hilang. Dia ada, tapi aku tak lagi merasakannya. Menyisakan
perasaanku yang dalam terhadapnya, yang sampai saat ini masih belum bisa
kuungkapkan.
Aku kehilangan
kata-kata indahnya, sikapnya, manisnya, senyumnya, sayangnya, dan aku kehilangan
dia. Aku terganggu—makanku dan tidurku. Aku tidak pernah tahu bahwa ini bisa
sangat memengaruhiku, menghipnotisku ... menguraikan air mataku, menyesakkan
dadaku.
Semua yang ada
pada dia, sudah membuatku candu. Hatiku menagihnya, menagih dia seperti dulu
lagi, menagih dia untuk kembali, menagih dia untukku, tanpa mampu kumemintanya.
.
.
.
Kini, yang
tersisa hanya sesal. Sesal karena ternyata, di usiaku yang bukan anak-anak
lagi, aku masih belum mampu mengartikan apa perasaan ini; perasaan sakit saat
apa yang kurasa tidak terbalas ini.
Tuhan, jika
rasaku untuknya ini salah, kumohon, mohon, mohon ... hilangkan, musnahkan. Aku
tidak mampu menahan nyeri di dada ini, yang membuatku lemah, membuatku tak
berdaya, mempermalukanku pada diriku sendiri.
Kurasa, Tuhan,
tidak sulit bagi-Mu untuk memudarkan rasaku ini untuknya ... dan membuatku
lupa, pada kenangan yang dia tanam di pikiranku.
Untukku ... dan
semua yang merasakan sakit ini.