Sabtu, 30 Agustus 2014

Untukku



Untukku ... dan semua yang mengalami rasa sakit ini.

Aku yang berusia cukup ‘banyak’ ini, masih belum mampu mengartikan apa itu cinta, juga perbedaannya dengan sayang dan suka. Aku mengartikan itu sama saja. Bahkan aku hampir tidak bisa men’deteksi’nya.

Maka itu, saat aku mengalaminya—yang entah itu apa, aku masih awam, masih merasa tabu, masih malu. Baik untuk mengekspresikan maupun mengungkapkannya.

Beberapa kali, tertutama saat malam tiba, pikiranku tertuju padanya. Pada senyumnya, kata-katanya yang manis, kasih sayangnya. Aku berusaha mengartikan perasaan ini, tapi aku tidak mampu. Aku takut aku salah mengungkapkan, takut ungkapanku tertuju pada orang yang salah; pada orang yang tidak berhak untuk kurindukan—ya, pada akhirnya aku berani, dengan angkuhnya, mengartikan perasaan itu rindu. Pada diriku sendiri.

Setiap waktu, hatiku tergerak padanya. Perasaan ingin selalu bersamanya; mendengar suaranya; menyentuhnya; semakin menggebu. Tapi sekali lagi, aku tidak mampu mengungkapnya.
.
.
.
Suatu waktu, dia berkata manis padaku. Berkata bahwa dia merindukanku, aku adalah segalanya, dan banyak kata-kata manis lainnya.

Sebagai gadis normal, aku merasa senang. Merasa aku tiada duanya, merasa aku gadis paling bahagia di dunia, paling cantik di dunia. Bibirku tersenyum, pipiku memerah, kupu-kupu di perutku beterbangan.

Tapi kemudian perasaan lain menyerang, sekali lagi, perasaan takut. Takut itu hanya dusta, takut kalimat itu hanya sementara, hanya pemanis ‘buatan’, takut aku termakan oleh kata-kata indah itu—yang nyatanya sangat, sangat, sangat membuatku bahagia.

Beberapa waktu, setelah aku menyuruhnya berhenti, dia benar-benar menghentikannya. Dan tanpa kuduga, aku kecewa. Kecewa pada diriku sendiri, juga mengecewakannya. Saat itulah, aku meminta pada Tuhan sesuatu yang kutahu, tidak mungkin dikabulkan. Tuhan, tolong ... kembalikan waktu, agar aku tidak mengatakan hal menyakitkan itu; menyuruhnya berhenti mengekspresikan perasaannya padaku.

Perlahan, kata rindu darinya lenyap, bersamaan dengan panggilan sayangnya untukku. Sikap manisnya yang memanjakanku pun memudar. Suaranya yang dalam tak lagi mampu menenangkanku. Semuanya hambar. Hingga puncaknya ... aku merasa dia benar-benar hilang. Dia ada, tapi aku tak lagi merasakannya. Menyisakan perasaanku yang dalam terhadapnya, yang sampai saat ini masih belum bisa kuungkapkan.

Aku kehilangan kata-kata indahnya, sikapnya, manisnya, senyumnya, sayangnya, dan aku kehilangan dia. Aku terganggu—makanku dan tidurku. Aku tidak pernah tahu bahwa ini bisa sangat memengaruhiku, menghipnotisku ... menguraikan air mataku, menyesakkan dadaku.

Semua yang ada pada dia, sudah membuatku candu. Hatiku menagihnya, menagih dia seperti dulu lagi, menagih dia untuk kembali, menagih dia untukku, tanpa mampu kumemintanya.
.
.
.
Kini, yang tersisa hanya sesal. Sesal karena ternyata, di usiaku yang bukan anak-anak lagi, aku masih belum mampu mengartikan apa perasaan ini; perasaan sakit saat apa yang kurasa tidak terbalas ini.

Tuhan, jika rasaku untuknya ini salah, kumohon, mohon, mohon ... hilangkan, musnahkan. Aku tidak mampu menahan nyeri di dada ini, yang membuatku lemah, membuatku tak berdaya, mempermalukanku pada diriku sendiri.

Kurasa, Tuhan, tidak sulit bagi-Mu untuk memudarkan rasaku ini untuknya ... dan membuatku lupa, pada kenangan yang dia tanam di pikiranku.

Untukku ... dan semua yang merasakan sakit ini.

Tidak ada komentar: