Ela (atau Eli?), Aku, Julia, Eli (atau Ela?), dan Anna
Tak terlintas
sama sekali aku akan ‘mengenal’ negara itu dan mempelajari bahasanya.
Dulu,
cita-citaku adalah kuliah di Jepang. Aku suka negara Jepang. Suka anime, manga, lagu, game, dan
sebagainya dari Jepang. Suka jenis makanannya, suka melihat perempuannya yang
memakai kimono, suka bahasanya, suka huruf-hurufnya yang unik, dan selalu
merasa tertarik dengan orang-orang Indonesia yang belajar bahasa Jepang.
Tapi sayang,
orang tua sama sekali tidak mendukung aku kuliah di Negara Sakura tersebut. Dan
Papah malah mengenalkanku dengan Negara Jerman. Awalnya aku menyepelekan negara
tersebut. Terang saja, aku tidak tahu seluk beluk Jerman.
Tapi lama-lama,
setelah membaca info tentang Jerman, juga pendidikan dan teknologinya, beserta
kebersihan negaranya, aku berhasil jatuh cinta pada Jerman. Mulai mengikuti
semacam seminar di sebuah ‘Agent’ di Jakarta yang ‘menyalurkan’ calon mahasiswa
Indonesia ke Jerman.
Karena biaya
terlalu mahal yaitu hampir 300 juta, aku mengundurkan diri dan sempat mematikan
impianku ke Negara tersebut.
Tapi kakakku
memberiku harapan, dengan mengenalkanku kepada program Au Pair dan seorang guru bernama Isnaeni.
Aku mulai
belajar bahasa Jerman dengan serius, dan menaruh seluruh harapan beserta semua
impianku di sana, membayangkan tinggal bersama sebuah keluarga dan mengasuh
anak berkulit putih, membantu mereka, juga belajar mandiri. Lalu untuk tahun
berikutnya aku akan menjadi mahasiswi di sana, jadi sarjana lulusan Jerman.
Semua itu sudah
terbayang di benakku. Aku tahu tidak akan mudah. Tapi aku akan memperjuangkannya.
Apalagi aku mendapat banyak dukungan. Dari kakak-kakakku juga saudara. Sampai
salah satu Kyai di desaku ngendiko, “Di
sini bumi Allah, di sana bumi Allah. Nggak usah takut.”
.
.
Aku sampai
mengenal orang-orang Jerman dan berbicara dengan mereka karena Bu Isnaeni.
Meskipun aku berkomunikasi dengan mereka menggunakan Bahasa Inggris, tapi aku
senang. Melihat mereka dan mendengar mereka bicara. Memandang rambut
pirang-coklat mereka, mata mereka yang berwarna hijau, abu-abu, coklat, biru.
Itu semua merupakan hal baru bagiku.
Tahun ajaran
baru berganti, pendaftaran masuk universitas di Indonesia juga sudah ditutup.
Aku tidak ambil pusing. Guruku bilang, masih ada waktu untuk aku Au Pair dan kuliah di sana. Tidak usah
khawatir.
Aku pernah
mendapatkan tawaran dari salah seorang keluarga muslim di Jerman. Dia seorang
dokter wanita, memiliki satu anak sementara dia sendiri single parent. Papah setuju aku bergabung dalam keluarga itu. Tapi
sayangnya, aku terlalu takut karena saat kami berkenalan melalui skype, yang dia bicarakan semuanya
adalah pekerjaan. Membersihkan rumah, memasak, mencuci, dsb. Seakan aku
pembantu.
Akhirnya aku
menolak tawaran itu dan memutuskan mencari keluarga lain. Lama aku tidak
menemukan sebuah keluarga. Mungkin setiap kali aku mengajukan ‘lamaran’, mereka
harus berpikir banyak karena aku muslim dan memakai jilbab.
Aku tidak
menyerah, aku tetap berdoa dan berusaha, menyisihkan uang sakuku untuk membeli
pulsa kuota dan browse mencari
keluarga angkat. Apalagi temanku juga berkata, “Jangan khawatir, barangkali
Allah sedang mencarikan keluarga angkat yang baik untukmu. Tunggu saja waktu
yang tepat.” Kalimat itu tentu saja menghidupkan semangatku yang sempat jatuh.
Hingga akhirnya,
guruku memberi tahu ada sebuah keluarga di Koln yang membutuhkan Au Pair. Aku menyetujuinya, tentu saja.
Untuk urusan kesepakatan, akan kulakukan nanti. Yang utama, aku harus
mengajukan lamaran.
Aku pun memberi
kabar bahagia ini kepada orang tuaku. Tapi malam harinya, aku mendapat jawaban
yang mengejutkan.
“Papah bilang,
kamu harus tinggal sama keluarga muslim.” Itu kata Umi.
Aku diam. Aku tidak
bisa menyalahkan kalimat itu. Aku tahu Papah bermaksud baik dengan berkata aku
harus tinggal dengan keluarga muslim. Mungkin beliau khawatir. Tapi aku
berusaha meyakinkan, bahwa jika aku harus tinggal dengan keluarga muslim, itu
artinya aku harus menunggu lama lagi karena di sana sangat jarang ada keluarga
muslim.
Sedangkan jika
keluarga non muslim, kita akan melakukan kesepakatan-kesepakatan berupa minta
waktu lima kali sehari untuk ibadah, soal makanan yang haram dan yang tidak,
juga sebagainya.
Hingga terakhir,
aku bilang, “Kalau tetep pengen aku tinggal sama keluarga muslim, daripada
nunggu lama, mendingan aku kuliah langsung aja.”
Tapi apa jawaban
mereka? Mereka akhirnya berkata, sebaiknya aku kuliah di Indonesia.
Perintah itu
bagaikan sambaran petir yang langsung menuju hatiku. Aku stress seketika. Hilang
semangat, menangis, malu, marah, kecewa, semua angan-angan indahku di Negara
itu pecah.
Ya, aku
menyalahkan orang tuaku meskipun aku tahu itu tidak sepenuhnya salah mereka.
Mungkin mereka khawatir, aku anak perempuan dan harus tinggal di negara lain
dengan keluarga yang tidak mereka kenal. Apalagi negara itu bukan negara
muslim.
Yang aku
sesalkan, kenapa mereka menjejalkanku dengan Jerman dan betetek bengeknya jika akhirnya seperti ini?
Saat ini,
semangatku masih belum pulih. Bayang-bayang soal Jerman, kesibukannya,
kemodernannya, cita-citaku di sana, musnah sudah.
Aku tidak pernah
bermimpi akan jatuh seperti ini karena terlalu larut dalam euforia. Aku selalu
yakin bahwa aku akan pergi ke Jerman, mencuri
ilmu dari sana dan memiliki pekerjaan di Indonesia, menjadi orang sukses, lalu
punya uang untuk membeli kamera bagus dan tablet, setelah itu aku pergi ke
Jepang.
Semua itu sudah
terlintas dalam benakku.
Memang, menjadi
sukses bukan hanya dengan ke Jerman. Jerman bukan satu-satunya cara. Bahkan
kuliah di kampus yang tidak terkenal bisa membuat seseorang mejadi sukses
dengan kegigihannya.
Tapi ini soal
semangat. Soal kecintaan. Aku cinta Jerman dan semangatku berada di sana.
Bagaimana rasanya ketika kau dijauhkan dengan cita-citamu?
.
.
.
Semoga semua ini
akan menjadi pelajaran yang lebih baik bagiku, menjadi awal kesuksesanku.
Aamiin....
Selamat tinggal
impianku ke Jerman. Impian-impian indah tentangmu akan kusimpan. Cita-cita
tinggi padamu akan selalu terukir di hati :”)
Ich Liebe Deutschland und die Leute.
*NB: Pengertian Au Pair bisa dilihat di sini
1 komentar:
Kejar terus Cita-Cita mu Kawan.. :)
Posting Komentar