Kugores tangkai bertinta ini di atas lembaran
putih suci.
Tanpa kata-kata yang berarti, tanpa makna
yang terpahami.
.
oOo
Dulu, saat tanganku terluka ... aku menangis dan berlari
menuju ibu. Kemudian dengan mudah ibu membalut lukaku.
Kini pun begitu. Aku menangis dan mengadu, "Bu, hatiku
terluka. Rasanya sangat sakit." Ibuku mencoba membalutnya, tapi luka itu
tak kunjung sembuh.
Sakitnya begitu dalam dan amat lama.
oOo
Aku tidak memberitahunya di mana tempatku.
Namun saat dia menemukanku dengan mudah, aku mengernyit,
bertanya. Dan dia menjawab, "Kau berbeda, kau kumuh."
oOo
Aku meraba goresan pisau di tanganku. Sakit. Berdarah.
Aku mencari-cari, "Siapa yang melukaiku?"
Dan saat aku menyadarinya, justru akulah si pemegang pisau
itu.
oOo
Masih bolehkah aku mengeluh?
Sementara saat aku menoleh ke arah sana, aku harus menahan
malu lantaran surat keluhanku sudah menggunung; menutupi lembaran rasa syukurku
di belakangnya.
oOo
Pakaianku berlubang, mereka menambalnya. Tapi mereka tidak
puas. Mereka memilih membungkusku dengan kain penutup.
oOo
Pohon itu besar dan terlihat kokoh. Tapi saat aku
menyentuhkan ujung jariku pada permukaannya, satu per satu, daun, ranting, dan
semuanya berjatuhan. Menyisakan akar yang tersembunyi di dalam tanah.
oOo
Bebek itu bersama angsa-angsa. Namun angsa-angsa tidak
bersama bebek.
oOo
Aku melihat bayangan itu yang balas memandangku. Tatapannya
sinis, seakan ekor matanya berusaha mencabik.
Saat aku tersenyum padanya, dia tertawa. Menertawakan
ketololanku yang melekat.
oOo
Aku melihat, aku mendengar.
Tapi aku memilih membuta dan menuli.
oOo
Bumi yang kuinjak bergurun. Tapak-tapak kakiku membekas di
sana.
Aku kepanasan, aku kehausan, aku kelelahan.
Dan saat aku melihat kolam, aku tergoda. Kutenggelamkan diri
ini di dalamnya hingga aku lupa bagaimana cara kembali.
Lalu aku tersadar akan sesuatu. Kolam ini sejuk ... namun
pelan-pelan membunuhku.
oOo
Jalan ini berlumpur. Aku melihat bebatuan besar di depan
sana. Tapi aku memilih terjun.
oOo
Jejak itu masih ada. Membekas dalam. Membuat karpetku lusuh
dan kumuh. Tapi lagi dan lagi ... aku
menapakinya dengan sandal yang sama; sandal yang penuh lumpur.
oOo
Setidaknya, berilah
kuasa padaku untuk menggoreskan tinta emas di sini.
Dan kemudian ... aku
bisa pergi tanpa rasa dahaga yang menyesak.
Goresan Tinta Sofia....
Surabaya, 7 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar