Rabu, 10 Desember 2014

Cinta itu Apa?



Cinta itu apa?

Aku tidak tahu.

Sungguh, aku tidak tahu.

Apakah cinta itu saat kau rindu pada seseorang? Apakah cinta itu cemburu? Apakah cinta itu saat kau merasa ingin selalu di sisinya?

Jika memang itu adalah cinta, maka mungkin aku sedang mengalaminya. Mungkin.
.
.
.
Apabila menurut orang-orang cinta itu indah, menurutku justru tidak begitu.

Menurutku, cinta itu bodoh. Cinta itu lucu, menggelikan, dan cinta adalah ... sesuatu yang sangat pas untuk dijadikan bahan tertawaan (mungkin itu salah satu alasan kenapa priaku sering menertawakanku. Karena aku bodoh? Dunno.)

Aku merasa lucu dan bodoh saat ini. Merasa otakku tidak bisa bekerja dengan baik dan seharusnya. Segala sesuatu yang aku lihat, rasakan, dengar, alami, semuanya, mengingatkanku pada dia—orang yang kucintai.

Tidak kuketahui sama sekali bagaimana cara menunjukkan cinta kepada seseorang. Yang aku tahu, yang aku rasakan, emosiku meletup-letup hanya karena jika orang yang kucintai tidak melakukan apa yang aku harapkan—atau jika aku tak kunjung bertemu dengannya.

Yang aku inginkan, dia mengerti bagaimana perasaanku tanpa harus kukatakan. Dan itulah salah satu alasan kenapa kukatakan bahwa cinta itu bodoh. Merasa dia harus bisa membaca pikiranku tanpa harus kumemintanya. Dan saat dia salah menebak, bang!—kecewa, marah, sedih, menangis, menyalahkan dirinya. Hingga kemudian, saat pertengkaran kecil terjadi, yang tersisa hanya sesal. Sesal atas kebodohan yang telah aku lakukan.

Aku mencoba, mencoba mengungkapkan perasaanku bahwa aku rindu. Hey, Priaku; Kesayanganku, aku rindu. Aku butuh perlindunganmu, perhatianmu, butuh kau di sisiku. Aku cemburu pada hal lain yang lebih banyak mendapat perhatianmu. Mengertilah, dari bagaimana gestur percakapanku denganmu dan sebagainya. Mengertilah! Tapi sekali lagi, dia tidak akan pernah sadar, sampai kapan pun, jika aku tidak mengatakannya secara langsung.

Aku tidak sedang menyalahkan pria di sini. Sama sekali tidak. Aku mengerti bahwa pria butuh diberi tahu, aku mengerti bahwa pria bukan cenayang, bukan detektif, dan aku mengerti bahwa pria pun butuh dimengerti. Aku hanya sedang menginterospeksi diriku sendiri. Diriku yang begitu bodoh dan lucu karena perasaan menyebalkan yang mengganggu ini.

Terkadang, saat dia tidak mengerti perasaanku dan apa yang aku harapkan padanya tidak sesuai dengan yang aku harapkan, keraguan pun muncul. Keraguan apakah dia masih mencintaiku ataukah cintanya padaku sudah luntur. Tapi mengertilah, Priaku Sayang, itu karena aku takut kehilanganmu. Bukan semata karena ‘ragu’ hanya ragu.

Saat keraguan itu datang, percayalah, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa kau pun mencintaiku. Kau peduli padaku, kau menyayangiku, memerhatikanku, kau pun merinduiku. Tapi kemudian ada perasaan takut lagi. Itu kemarin! Itu dua hari lalu! Itu seminggu yang lalu! Bisa saja sekarang dia berubah!

Tuhaaaaaaannn...! Kenapa perasaan ini begitu rumit???

Dan karena perasaan asing inilah—kerap kali—hal-hal sepele yang dilakukan orang lain akan selalu mengingatkanku pada dirinya. Apa ini bukan gila namanya? Kopi, misalnya. Apa yang tergambar di benakmu saat mendengar atau melihat kopi? Mungkin hitam, pahit, begadang, cafe, atau hal lainnya. Tapi jika kau menanyakan hal itu padaku, yang terlintas dalam otakku adalah dia, orang yang selalu mengganggu pikiranku.

Ini lebih gila lagi. Seberapa sering pun aku bertengkar dengannya (hanya pertengkaran-pertengkaran kecil, memang), dibuat kesal olehnya, marah dengannya, aku tetap dan tetap ... selalu ingin berada di sisinya. Kadang terlintas perasaan ingin pergi darinya walau sejenak saja. Tapi kemudian aku sadar, bahwa tanpa dia di dekatku, itu hanya akan membuat hati, emosi, dan perasaanku semakin kacau.

Pada akhirnya, saat aku sudah bisa mengendalikan pikiranku, ada perasaan takut terlintas. Takut dia akan muak dengan sikapku, dengan emosiku, dengan segala kekurangan yang aku miliki, dan takut ... dia akan pergi dariku. Ya, aku takut.

Beberapa kali aku mencoba mengendalikan emosi, mencoba berpikir logis bahwa dia tidak salah, dia hanya tidak mengerti dengan kediamanku, tapi itu tidak membantu. Sama sekali.

Aku tidak tahu apakah ini caraku mencintainya atau ini adalah kesalahanku dalam mencintainya. Aku masih belum mengerti. Yang aku tahu, perasaan ini begitu menyiksa. Aku dibuat tidak tenang, dibuat konyol, dibuat tidak bisa berpikir jernih.

Dan satu hal lagi yang aku tahu, di balik semua persepsi burukku terhadap cinta, bahwa bagaimana pun keadaanku—marah, sedih, kecewa, takut—aku akan tenang jika dia ada di dekatku. Sekalipun dia yang memberiku kemarahan atau kekecewaan itu.

Apa itu cinta? Aku tidak tahu.

Karena Dia Segalaku



Aku tidak tahu kapan ini dimulai, saat dia datang dalam hidupku dan menjadi sangat berarti. Yang aku tahu, dia di sini—di hati dan pikiranku, mengklaim aku adalah miliknya dan dia adalah milikku. Dia menggodaku, menggelitik hatiku dengan segala yang dimilikinya, kelebihan dan kekurangannya.

Kian lama, kian perasaanku padanya kian dalam, kian aku takut. Aku begitu bergantung padanya. Semangatku, rapuhku, sedihku, bahagiaku, semuanya ada padanya. Aku hanya menerima semua itu, seakan aku tak memilikinya sendiri. Hal-hal yang ada padaku, berasal dari dirinya.

Lalu harus bagaimana aku hidup? Saat kusadari lukaku terbalut atas senyumnya, air mataku mengering pada jemarinya, lelahku bersandar pada bahunya, dan takutku muncul atas kecewanya.

Dia membawa semua itu, merebut seluruh tempat di hatiku hingga tak tersisa lagi cinta. Dia mencurinya, memilikinya dengan serakah hingga tak mungkin kubagikan.

Mimpiku terisi oleh wajahnya, dinginku hangat karena dekapannya, hitam-putihku berwarna karena hadirnya.

Betapa dengan angkuh dan kejamnya dia menawanku, menjeratku pada cintanya yang memabukkan. Membuatku tidak kuasa kembali pada akal sehat dan kehidupan realistisku. Aku begitu menggilainya.

Semuanya. Semuanya. Suaranya, napasnya, hangatnya, kasih sayangnya, aroma tubuhnya, bagaimana tenangnya aku saat di dekatnya, aku tidak bisa lupa. Aku selalu mendamba masa-masa bersamanya, masa di mana aku dan dia menghirup udara dari atmosfer yang sama, masa di mana aku dan dia menuang rindu yang kian membuncah.

Karena dia adalah segalaku, pagiku saat terjaga dan malamku saat terlelap.

Segala yang dimilikinya sudah menjadi canduku.

Sabtu, 30 Agustus 2014

Untukku



Untukku ... dan semua yang mengalami rasa sakit ini.

Aku yang berusia cukup ‘banyak’ ini, masih belum mampu mengartikan apa itu cinta, juga perbedaannya dengan sayang dan suka. Aku mengartikan itu sama saja. Bahkan aku hampir tidak bisa men’deteksi’nya.

Maka itu, saat aku mengalaminya—yang entah itu apa, aku masih awam, masih merasa tabu, masih malu. Baik untuk mengekspresikan maupun mengungkapkannya.

Beberapa kali, tertutama saat malam tiba, pikiranku tertuju padanya. Pada senyumnya, kata-katanya yang manis, kasih sayangnya. Aku berusaha mengartikan perasaan ini, tapi aku tidak mampu. Aku takut aku salah mengungkapkan, takut ungkapanku tertuju pada orang yang salah; pada orang yang tidak berhak untuk kurindukan—ya, pada akhirnya aku berani, dengan angkuhnya, mengartikan perasaan itu rindu. Pada diriku sendiri.

Setiap waktu, hatiku tergerak padanya. Perasaan ingin selalu bersamanya; mendengar suaranya; menyentuhnya; semakin menggebu. Tapi sekali lagi, aku tidak mampu mengungkapnya.
.
.
.
Suatu waktu, dia berkata manis padaku. Berkata bahwa dia merindukanku, aku adalah segalanya, dan banyak kata-kata manis lainnya.

Sebagai gadis normal, aku merasa senang. Merasa aku tiada duanya, merasa aku gadis paling bahagia di dunia, paling cantik di dunia. Bibirku tersenyum, pipiku memerah, kupu-kupu di perutku beterbangan.

Tapi kemudian perasaan lain menyerang, sekali lagi, perasaan takut. Takut itu hanya dusta, takut kalimat itu hanya sementara, hanya pemanis ‘buatan’, takut aku termakan oleh kata-kata indah itu—yang nyatanya sangat, sangat, sangat membuatku bahagia.

Beberapa waktu, setelah aku menyuruhnya berhenti, dia benar-benar menghentikannya. Dan tanpa kuduga, aku kecewa. Kecewa pada diriku sendiri, juga mengecewakannya. Saat itulah, aku meminta pada Tuhan sesuatu yang kutahu, tidak mungkin dikabulkan. Tuhan, tolong ... kembalikan waktu, agar aku tidak mengatakan hal menyakitkan itu; menyuruhnya berhenti mengekspresikan perasaannya padaku.

Perlahan, kata rindu darinya lenyap, bersamaan dengan panggilan sayangnya untukku. Sikap manisnya yang memanjakanku pun memudar. Suaranya yang dalam tak lagi mampu menenangkanku. Semuanya hambar. Hingga puncaknya ... aku merasa dia benar-benar hilang. Dia ada, tapi aku tak lagi merasakannya. Menyisakan perasaanku yang dalam terhadapnya, yang sampai saat ini masih belum bisa kuungkapkan.

Aku kehilangan kata-kata indahnya, sikapnya, manisnya, senyumnya, sayangnya, dan aku kehilangan dia. Aku terganggu—makanku dan tidurku. Aku tidak pernah tahu bahwa ini bisa sangat memengaruhiku, menghipnotisku ... menguraikan air mataku, menyesakkan dadaku.

Semua yang ada pada dia, sudah membuatku candu. Hatiku menagihnya, menagih dia seperti dulu lagi, menagih dia untuk kembali, menagih dia untukku, tanpa mampu kumemintanya.
.
.
.
Kini, yang tersisa hanya sesal. Sesal karena ternyata, di usiaku yang bukan anak-anak lagi, aku masih belum mampu mengartikan apa perasaan ini; perasaan sakit saat apa yang kurasa tidak terbalas ini.

Tuhan, jika rasaku untuknya ini salah, kumohon, mohon, mohon ... hilangkan, musnahkan. Aku tidak mampu menahan nyeri di dada ini, yang membuatku lemah, membuatku tak berdaya, mempermalukanku pada diriku sendiri.

Kurasa, Tuhan, tidak sulit bagi-Mu untuk memudarkan rasaku ini untuknya ... dan membuatku lupa, pada kenangan yang dia tanam di pikiranku.

Untukku ... dan semua yang merasakan sakit ini.

Selasa, 06 Mei 2014

Goresan Tinta Sofia



Kugores tangkai bertinta ini di atas lembaran putih suci.
Tanpa kata-kata yang berarti, tanpa makna yang terpahami.
.
oOo
Dulu, saat tanganku terluka ... aku menangis dan berlari menuju ibu. Kemudian dengan mudah ibu membalut lukaku.
Kini pun begitu. Aku menangis dan mengadu, "Bu, hatiku terluka. Rasanya sangat sakit." Ibuku mencoba membalutnya, tapi luka itu tak kunjung sembuh.
Sakitnya begitu dalam dan amat lama.
oOo
Aku tidak memberitahunya di mana tempatku.
Namun saat dia menemukanku dengan mudah, aku mengernyit, bertanya. Dan dia menjawab, "Kau berbeda, kau kumuh."
oOo
Aku meraba goresan pisau di tanganku. Sakit. Berdarah.
Aku mencari-cari, "Siapa yang melukaiku?"
Dan saat aku menyadarinya, justru akulah si pemegang pisau itu.
oOo
Masih bolehkah aku mengeluh?
Sementara saat aku menoleh ke arah sana, aku harus menahan malu lantaran surat keluhanku sudah menggunung; menutupi lembaran rasa syukurku di belakangnya.
oOo
Pakaianku berlubang, mereka menambalnya. Tapi mereka tidak puas. Mereka memilih membungkusku dengan kain penutup.
oOo
Pohon itu besar dan terlihat kokoh. Tapi saat aku menyentuhkan ujung jariku pada permukaannya, satu per satu, daun, ranting, dan semuanya berjatuhan. Menyisakan akar yang tersembunyi di dalam tanah.
oOo
Bebek itu bersama angsa-angsa. Namun angsa-angsa tidak bersama bebek.
oOo
Aku melihat bayangan itu yang balas memandangku. Tatapannya sinis, seakan ekor matanya berusaha mencabik.
Saat aku tersenyum padanya, dia tertawa. Menertawakan ketololanku yang melekat.
oOo
Aku melihat, aku mendengar.
Tapi aku memilih membuta dan menuli.
oOo
Bumi yang kuinjak bergurun. Tapak-tapak kakiku membekas di sana.
Aku kepanasan, aku kehausan, aku kelelahan.
Dan saat aku melihat kolam, aku tergoda. Kutenggelamkan diri ini di dalamnya hingga aku lupa bagaimana cara kembali.
Lalu aku tersadar akan sesuatu. Kolam ini sejuk ... namun pelan-pelan membunuhku.
oOo
Jalan ini berlumpur. Aku melihat bebatuan besar di depan sana. Tapi aku memilih terjun.
oOo
Jejak itu masih ada. Membekas dalam. Membuat karpetku lusuh dan kumuh. Tapi lagi dan lagi ... aku menapakinya dengan sandal yang sama; sandal yang penuh lumpur.
oOo
Setidaknya, berilah kuasa padaku untuk menggoreskan tinta emas di sini.
Dan kemudian ... aku bisa pergi tanpa rasa dahaga yang menyesak.
Goresan Tinta Sofia....

Surabaya, 7 Mei 2014

Sabtu, 15 Februari 2014

Kursus di English First

“Halo, Sofi, kamu bimbelnya seminggu berapa kali?”

“Tiga kali, Pah. Senin, rabu, sama jum’at.”

“Lho, berarti kamu banyak nganggurnya, dong? Jangan, jangan. Anak Papah nggak boleh nganggur. Sana, kamu cari les bahasa inggris.”

Krik....

Krik....

“O-oke, Pah.”

oOo

Nah, beberapa hari setelah percakapan itu sama Papah, aku sibuk deh cari-cari les Bahasa Inggris di Surabaya. Bermodalkan tanya sama temen-temen kos yang semuanya anak perantauan sama kayak aku, google, berserta GPS, aku akhirnya tertarik sama EF alias English First.

Aku pun ke sana—tepatnya di Kayun—sama sepupu aku. Aku tanya-tanya deh. Jadi di EF itu, buat menentukan akan di level apa kita nantinya, kita harus ikut tes dulu. Sederhana aja, sih. Jenis soalnya pilihan ganda sama satu essay dan speaking sama bule.

Nah, aku udah selesai tuh ngerjain writing test-nya. Tunggu beberapa menit, dan ada mister-mister berambut pirang berbadan jangkung manggil aku. “Sofia!”

Aku nengok trus ikut dia masuk ke sebuah ruangan tertutup yang hanya ada aku dan dia di dalamnya. Jantungku berdebar kencang saat matanya yang secerah langit biru menatapku #halah! Oke, kembali ke topik. Lol.

Di sana, dia memperkenalkan diri. Sekedar nama aja, sih. Namanya Mr. Julian. Dia tanya kabarku, tanya aku kuliah di mana, jurusan apa, kenapa aku tertarik dengan jurusan itu. Sementara itu, aku berusaha menjawab dengan bumbu ‘err..., err...,’ di tengah kalimat kalo aku masih bimbel untuk persiapan masuk UNAIR. Aku minta maaf sambil cengengesan dan bilang kalo aku lil bit nerveus but I am okay dan dia senyum sambil jawab it’s okay. Blablabla take it easy blablabla.

Dia juga tanya, apakah aku pernah ikut kursus bahasa inggris sebelumnya? Dan aku jawab kalo aku pernah masuk pesantren yang semua santrinya mewajibkan Bahasa Inggris—Gontor. Tapi itu udah lama, sekitar 9-10 tahun yang lalu, saat usiaku masih 11 tahun. Dan dia angguk-angguk sambil senyum beserta ngomong entahlah apa. Aku dengernya bzz bzz doang.

Dan tes spiking pun dimulai. Dia memperlihatkan sebuah gambar ke aku, trus aku disuruh menceritakan secara lisan gambar tersebut. Ada yang lagi liburan, ada yang baru bangun tidur, ada yang disuruh menceritakan kegiatan dari pagi sampe malem, dsb.

Dan ... yup! Test pun selesai. Dia bilang sesuatu ke aku, sambil nunjukin nilaiku. Antara lain kaya gini, “Congratulation, Sofia. Your English is good, and you ... blablabla elementary. Your score is blablaba. This blabla good enough. Some blablabla wrong blabla but it’s okay. It’s just because you blabla course before. You need to improve blabla grammar and sentences dst...,” yang bikin aku nyengir dan angguk-angguk aja. Entahlah aku faham atau enggak. Aku pura-pura faham aja biar nggak dikira bodoh. #woy!

Aku ngucapin, ‘Thank you very much, Mr. Julian.’ Dan nunggu dipanggil lagi. Selama nunggu itu, aku galau sambil bergumam dalam hati, ‘What? Tadi misternya bilang tentang elementary. Apa aku bakal masuk elementary? Bareng anak-anak SD, gitu? Omaygawd. Aku bakalan sekelas sama anak-anak SD?’ Aku pusing tujuh keliling, dong, jelasnya. Segitu rendahnyakah, nilaiku?

Beberapa menit kemudian, mbak-mbak Costumer Service-nya manggil aku. “Sofia.” Aku pun mendekat sambil memasang wajah harap-harap cemas. Dia jelasin ke aku jadwal buat masuk les, biaya, buku, ruang, dan sebagainya. Aku juga tanya-tanya, nih, sambil malu-malu. “Mbak, yang di kelasku itu rata-rata umuran berapa?”

Mbaknya senyum manis, dan bilang kalo di kelasku yaitu Elementary 3 ada dua belas orang, paling muda umur 14 tahun dan paling dewasa umur 25 tahun. Hoh.... Aku lega. Meskipun ada beberapa yang lebih muda, seenggaknya aku nggak yang paling tua. Yah.... Ada temennya, lah.

Oke, nggak masalah lah aku masuk elementary 3. Toh niatnya aku di sini mau ngasah bahasa inggrisku, bukan buat unjuk gigi(?). Emang udah seharusnya aku masuk level itu. Daripada pengennya tinggi tapi otakku belum mampu dan banyak bab yang belum kupelajari? Ya, inilah tempatku :D

Dan ... rabu lalu tepatnya tanggal 12 Pebruari 2014, aku pertama kalinya masuk kelas London. Pelajaran berlangsung sukses, aku kenal sama hampir semua temen sekelas (yang emang cuma 12 orang—kalo nggak salah) dan asyik banget!

Satu setengah jam kulalui dan itu kuraang...! Aku bahkan mau kalo harus belajar 3 jam sekali pertemuan. Hahahah.... Tanpa biaya tambahan, tentunya XD